Indonesia adalah negara kaya dengan budaya yang beragam, dan salah satu warisan budaya paling berharga adalah tari tradisionalnya. Tari tradisional Indonesia bukan hanya ekspresi seni tetapi mencerminkan nilai-nilai moral, kearifan lokal, dan hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan. Namun, menghadapi arus modernisasi dan globalisasi, pelestarian tari tradisional menjadi sebuah tantangan penting yang harus diatasi.
Konsep Environmental, Social, and Governance (ESG), yang selama ini dikenal dalam dunia investasi dan bisnis, ternyata memiliki nilai relevansi tinggi ketika diterapkan dalam pelestarian budaya, khususnya tari tradisional Indonesia. ESG memberikan kerangka yang holistik untuk memastikan pelestarian budaya tidak hanya menjadi aktivitas simbolis, tetapi juga berdampak positif jangka panjang secara lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Pada aspek lingkungan (Environmental), tari tradisional Indonesia mengajarkan konservasi dan penggunaan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Kostum dan aksesori tari yang umumnya berasal dari bahan alami lokal mendukung prinsip keberlanjutan dan ekonomi sirkular, sekaligus meminimalkan jejak karbon. Tari-tari seperti Tari Saman dari Aceh dan Tari Piring dari Minangkabau mengandung simbol-simbol yang mengajarkan hormat kepada alam, meneruskan kearifan lokal untuk hidup selaras dengan lingkungan.
Dari segi sosial (Social), tari tradisional berfungsi sebagai alat pendidikan dan pemberdayaan. Mereka menanamkan nilai-nilai kebersamaan, disiplin, dan penghargaan terhadap keberagaman budaya. Melalui pembelajaran tari tradisional, terutama bagi generasi muda, terbentuk keterampilan yang memupuk kohesi sosial dan memperkuat identitas budaya bangsa. Selain itu, pelestarian tari tradisional juga membuka ruang bagi penciptaan lapangan kerja di sektor ekonomi kreatif, dari penari, pengrajin kostum hingga pemandu wisata budaya, sehingga berdampak langsung pada pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Dalam aspek tata kelola (Governance), pelestarian tari tradisional memerlukan transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak kekayaan intelektual. Organisasi dan komunitas yang mengelola seni tari harus memastikan bahwa pelestarian dilakukan dengan menghormati sumber budaya asli dan memberikan manfaat ekonomi yang adil kepada pemilik tradisi. Perlindungan hukum terhadap tari tradisional juga penting untuk mencegah penggunaan atau komersialisasi tanpa izin yang merugikan komunitas budaya.
Salah satu contoh praktik ESG dalam pelestarian tari tradisional adalah Festival Jaranan di Jawa Tengah dan Timur. Festival yang menggabungkan nilai-nilai keaslian, partisipasi komunitas yang tinggi, dan pengelolaan yang berkelanjutan ini menjadi model bagaimana budaya tradisional dapat lestari secara utuh, memberikan manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Meski tantangan seperti dominasi budaya populer, keterbatasan dana, dan modernisasi cepat tetap ada, solusi inovatif seperti pengintegrasian teknologi digital, kolaborasi multisektor, dan kebijakan inklusif dapat menjembatani pelestarian agar tari tradisional terus relevan dan lestari.
Kesimpulannya, mengaitkan tari tradisional Indonesia dengan ESG membuka perspektif baru bahwa seni budaya bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga aset strategis untuk masa depan yang berkelanjutan. Dengan pelestarian yang terkelola baik, tari tradisional berpotensi menjadi jembatan antara keberlanjutan lingkungan, penguatan sosial, dan tata kelola yang etis.
One Key Message :
Traditional Indonesian dance embodies not only cultural heritage but also serves as a vital catalyst for Environmental, Social, and Governance (ESG) principles, promoting sustainable communities, ecological respect, and ethical stewardship—making cultural preservation a powerful driver of holistic sustainability.

