Image default
Editor's PicksSocial

Mewujudkan Hilirisasi Berkelanjutan: Menjaga Keseimbangan Antara Target Ekonomi dan Aspek Sosial

Jakarta, ESGIDN.com – Di atas kertas, statistik hilirisasi mineral Indonesia tampak berkilau. Angka investasi asing meroket dan nilai ekspor produk turunan nikel melambung tinggi, menempatkan Indonesia sebagai pemain kunci dalam rantai pasok kendaraan listrik global. Namun, di balik deretan angka makroekonomi yang memukau itu, tersimpan residu persoalan sosial yang pekat. Rangkaian kecelakaan kerja fatal di kawasan industri pengolahan hingga konflik agraria yang meruncing menjadi bukti bahwa aspek Social dalam kerangka Environmental, Social, and Governance (ESG) masih menjadi catatan merah yang terabaikan.

Rentetan insiden ledakan tungku smelter di Sulawesi dalam beberapa tahun terakhir bukan sekadar statistik kecelakaan kerja semata, melainkan lonceng peringatan atas lemahnya budaya keselamatan di tengah ambisi percepatan produksi. Dalam kacamata ESG, kecelakaan yang berulang mengindikasikan adanya kegagalan sistemik dalam perlindungan tenaga kerja. Nyawa manusia seolah terdegradasi menjadi sekadar ongkos produksi yang dapat dispensasi demi mengejar target volume ekspor. Padahal, bagi investor global yang semakin kritis, pengabaian standar keselamatan bukan hanya cacat moral, tetapi risiko operasional dan reputasi yang fatal. Label “nikel hijau” menjadi tak bernilai jika proses produksinya masih berlumur darah pekerja sendiri.

Persoalan sosial ini tak berhenti di balik gerbang pabrik. Gesekan antara korporasi dan komunitas lokal perihal lahan, seperti yang sempat memanas di Pulau Rempang atau wilayah lingkar tambang lainnya, menyingkap pola pembangunan yang cenderung top-down. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)—hak masyarakat untuk memberikan persetujuan tanpa paksaan sebelum proyek dimulai—kerap kali dilanggar atas nama percepatan investasi strategis nasional. Akibatnya, perusahaan beroperasi tanpa mengantongi “izin sosial” (social license to operate), sebuah kondisi yang menjamin operasional mereka akan terus dihantui ketidakstabilan keamanan dan resistensi warga.

Kini Indonesia berada di persimpangan jalan yang krusial. Dalam trinitas ESG, huruf “S” sering kali menjadi anak tiri dibandingkan isu lingkungan yang populer atau tata kelola yang teknis. Namun, risiko sosial memiliki daya ledak instan yang mampu melumpuhkan operasional seketika. Keberhasilan hilirisasi ke depan tidak bisa lagi hanya ditakar dari tonase nikel yang dikapalkan, melainkan harus diukur dari seberapa serius negara dan korporasi memanusiakan pekerjanya serta menghormati ruang hidup masyarakat adat. Tanpa perbaikan fundamental pada aspek ini, ambisi Indonesia menjadi raksasa industri dunia hanya akan meninggalkan jejak sejarah sebagai industrialisasi yang rapuh dan tidak manusiawi.

Related posts

INSTAR 2025: Terobosan Indonesia dalam Keunggulan ESG dan Integritas Bisnis Berkelanjutan

Nea

Tari Tradisional Indonesia: Warisan Budaya yang Mendorong Keberlanjutan ESG

Nea

BEI dan S&P Dow Jones Luncurkan Tiga Indeks Baru untuk Pasar Modal Berkelanjutan

Nea