Belém, ESG IDN – Brasil menjadi panggung dunia ketika Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 30) dimulai pada 10 November 2025. Di tengah forum bergengsi ini yang dijuluki “COP of Truth”—COP Kebenaran—Indonesia hadir bukan sebagai penonton pasif, melainkan sebagai penggerak nyata dalam transformasi iklim global. Pesan ini dikuatkan oleh Hashim S. Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, yang mewakili Presiden Prabowo Subianto di podium tertinggi konferensi.
“Indonesia datang ke Belém bukan sebagai penonton, tetapi sebagai penggerak. Kami membawa kebijakan, kemitraan, dan target yang terukur untuk memastikan transisi energi yang adil, berkelanjutan, dan menguntungkan bagi rakyat,” ujar Hashim, menegaskan posisi Indonesia sebagai aktor strategis dalam lanskap iklim global.
Delegasi Strategis: Dari 1.200 Menjadi 450 Orang
Perubahan signifikan terlihat dari komposisi delegasi Indonesia yang jauh lebih terukur dibanding tahun lalu. Jika pada COP 29 di Azerbaijan tahun 2024 Indonesia mengirim lebih dari 1.200 delegasi, kali ini pemerintah memilih efisiensi dengan mengirim 450 orang. Menariknya, sebagian besar anggota delegasi berasal dari sektor bisnis—mencerminkan strategi Indonesia untuk mempertemukan para pemangku kepentingan ekonomi dengan komitmen iklim.
Delegasi dipimpin oleh Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, disertai Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri Kelautan dan Perikanan. Komposisi ini strategis karena mencakup tiga sektor kunci dalam program dekarbonisasi Indonesia: lingkungan, kehutanan, dan maritim.
Second NDC: Komitmen Terukur Menuju Net Zero 2060
Jantung kontribusi Indonesia di COP 30 adalah peluncuran Second Nationally Determined Contribution (SNDC) 2025, dokumen yang menandai lompatan paradigma dari komitmen berbasis proyeksi menjadi target emisi absolut.
Berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang menggunakan baseline Business as Usual (BAU), SNDC ini menetapkan plafon emisi nasional dalam angka konkret: target penurunan emisi sebesar 1.258 gigaton CO₂ ekuivalen (skenario rendah) dan 1.489 gigaton CO₂ ekuivalen (skenario tinggi) pada 2035. Kedua target ini merupakan pengurangan signifikan dibanding proyeksi Enhanced NDC sebelumnya, sekaligus tetap sejalan dengan Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menekankan makna mendalam perubahan ini: “COP30 menjadi momentum untuk membuktikan bahwa pembangunan hijau bukan hanya mungkin, tetapi juga menguntungkan. Indonesia membangun kepemimpinan dari aksi nyata, bukan sekadar janji.”
Tiga Pilar Aksi: Hutan, Energi Terbarukan, dan Ekonomi Hijau
Indonesia menghadirkan strategi komprehensif yang berpijak pada tiga fondasi kuat.
Pertama, kehutanan dan lahan gambut menjadi garis depan perjuangan Indonesia. Melalui program FOLU Net Sink 2030, Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 92–118 juta ton CO₂ hingga 2030, dicapai melalui pencegahan deforestasi, rehabilitasi hutan, dan perlindungan ekosistem gambut serta mangrove. Angka konkretnya berbicara: penurunan deforestasi 75% sejak 2019, restorasi 950.000 hektare lahan, dan pengakuan 1,4 juta hektare hutan adat. Inisiatif ini menjadi bukti nyata bahwa Indonesia tidak hanya berjanjian tetapi sudah melaksanakan.
Kedua, transisi energi terbarukan yang berkeadilan. Indonesia menargetkan porsi energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2030, termasuk pengembangan energi nuklir sebagai bagian dari bauran energi bersih. Komitmen ini diperkuat oleh dua regulasi presiden strategis: Perpres Nomor 109 Tahun 2025 tentang Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan dan Perpres Nomor 110 Tahun 2025 tentang Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang menjadi pilar pembiayaan dekarbonisasi nasional.
Ketiga, pembangunan ekonomi hijau yang inklusif. Strategi ini diintegrasikan sepenuhnya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2025–2029 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2025–2045, dijangkarkan pada konsep Asta Cita yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekologis. Target pertumbuhan ekonomi 8% per tahun tetap digenjot bersamaan dengan upaya penurunan emisi—membuktikan bahwa pertumbuhan dan keberlanjutan bukan dikotomi melainkan sinergi.
Pasok Dana Iklim: Dari Karbon Niaga hingga Tropical Forests Forever
Tantangan utama Indonesia mencapai NDC adalah kesenjangan pembiayaan yang masif. Untuk mencapai target emisi 2030, dibutuhkan investasi sekitar 281 miliar dolar AS—jumlah yang tidak mungkin ditanggung negara sendiri. Dalam persiapan COP 30, Indonesia mengidentifikasi tiga mekanisme pembiayaan inovatif.
Pertama, perdagangan karbon internasional. Indonesia memanfaatkan COP 30 untuk mempertemukan penjual dan pembeli karbon melalui konser “Sellers Meet Buyers” di Paviliun Indonesia. Potensi ekonominya luar biasa: dengan metrik kerangka pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) yang kini mencakup 93% dari total emisi nasional, Indonesia dapat menghasilkan hingga 1.283 juta ton kredit karbon per tahun hingga 2030, setara dengan nilai ekonomi 7,3 hingga 16,7 miliar dolar AS. Indonesia telah menjalin dialog dengan negara-negara seperti Norwegia, Jepang, dan Korea Selatan untuk kesepakatan transaksi karbon bilateral.
Kedua, mekanisme berbasis hasil (result-based financing). Berbeda dari pendekatan offset tradisional yang dinilai sebagai “greenwashing”, model pembayaran berbasis kinerja memberikan insentif nyata untuk upaya perlindungan lingkungan terukur. Pendekatan ini menjadi yang paling prospektif karena menghubungkan aliran dana langsung dengan pencapaian target penurunan emisi konkret.
Ketiga, Tropical Forests Forever Facility (TFFF)—inisiatif global senilai 125 miliar dolar As yang digagas Brasil. Delegasi Indonesia telah berdiskusi mendalam dengan tim TFFF untuk mengoptimalkan peran Indonesia dalam mekanisme blended finance ini, yang menggabungkan dana publik dan swasta untuk melindungi hutan tropis. Indonesia berkomitmen memberikan kontribusi pendanaan yang setara dengan Brasil, menunjukkan seriusnya negara ini dalam memperluas aliran modal hijau.
Inklusivitas Sejati: Hutan Adat dan Ekonomi Maritim
Salah satu aspek paling menonjol dari strategi Indonesia adalah penghormatan terhadap peran masyarakat adat dan komunitas lokal. Pengakuan 1,4 juta hektare hutan adat bukan sekadar gestur simboik, tetapi pengakuan bahwa penjaga alam sejati adalah mereka yang telah hidup berdampingan dengan ekosistem berabad-abad. Kebijakan ini mendapat dukungan internasional karena memberdayakan komunitas lokal sekaligus meningkatkan efektivitas konservasi.
Selain itu, ekonomi maritim menjadi dimensi baru aksi iklim Indonesia. Melalui inisiatif “blue carbon” dan penurunan polusi laut, Indonesia memposisikan pelestarian ekosistem laut sebagai bagian integral dari dekarbonisasi nasional. Dengan panjang pantai terpanjang di dunia dan kekayaan terumbu karang serta hutan mangrove yang tak tertandingi, Indonesia membuka frontier baru dalam climate finance berbasis maritim.
Momentum Transformasi: Dari Negosiasi Menuju Aksi
Pernyataan penutup delegasi Indonesia di COP 30 merangkum semangat yang mengalun: beranjak dari negosiasi panjang menuju transformasi nyata, dengan semangat gotong royong dan mutirão (kerja kolektif dalam bahasa Portugis, yang beresonansi dengan nilai Indonesia).
Di tengah krisis global yang semakin mendesak—2024 menjadi tahun pertama suhu bumi melampaui 1,5 derajat Celsius secara permanen—Indonesia menunjukkan bahwa negara berkembang dengan sumber daya alam melimpah bukan hanya bisa, tetapi harus memimpin. Dengan Second NDC yang ambisius, delegasi bisnis yang terukur, mekanisme pembiayaan inovatif, dan komitmen pada inklusi sosial, Indonesia telah menetapkan standar baru bagi kepemimpinan iklim di Global South.
Sebagaimana ditegaskan Hashim di Belém: Indonesia tidak hanya berkomitmen mencapai net-zero emissions pada 2060 atau lebih cepat. Yang lebih penting, Indonesia berkomitmen pada aksi iklim yang adil, berkelanjutan, dan menguntungkan bagi rakyat—bukan sekadar menguntungkan segelintir aktor korporat. Dalam era di mana “tidak seorang pun bisa bernegosiasi dengan hukum fisika,” sebagaimana diingatkan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, pilihan Indonesia adalah memimpin, bukan menunggu.
One-Key Message:
Indonesia demonstrates at COP 30 that climate leadership is not about grand promises, but measurable action: a Second NDC with concrete emission targets, innovative financing mechanisms linking carbon markets to conservation, support for indigenous forest stewardship, and a commitment to just transition where economic growth of 8% per annum aligns with climate resilience—proving that developing nations can lead bylead by example.
Link artikel dalam bahasa Inggris bisa di akses di ESG IDN HUB

