Image default
Editor's PicksGovernance

Bayang-bayang Pajak Karbon Eropa: Industri RI Terancam Pungutan Ganda Mulai 2026

JAKARTA, ESGIDN.com – Lonceng peringatan bagi industri berat nasional berbunyi kian nyaring. Uni Eropa dipastikan akan menerapkan mekanisme penyesuaian batas karbon atau Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) secara penuh mulai 2026. Kebijakan ini menempatkan eksportir Indonesia—khususnya di sektor baja, aluminium, dan semen—dalam posisi terjepit: melakukan dekarbonisasi segera atau merelakan margin keuntungan tergerus pajak “hijau” di Benua Biru.

Mekanisme CBAM dirancang Brussel bukan sekadar sebagai instrumen lingkungan, melainkan juga tameng ekonomi untuk mencegah kebocoran karbon (carbon leakage). Melalui aturan ini, Uni Eropa mewajibkan importir untuk membeli sertifikat karbon yang harganya setara dengan harga karbon yang harus dibayar oleh produsen lokal di Eropa.

Bagi Indonesia, implikasinya serius. Jika pemerintah gagal menerapkan mekanisme harga karbon (carbon pricing) atau pajak karbon domestik yang diakui sebelum tenggat waktu tersebut, eksportir nasional tidak memiliki dasar untuk mengajukan pengurangan beban (offset). Artinya, pengusaha Indonesia harus membayar pungutan penuh kepada otoritas Uni Eropa, sementara kas negara justru tidak menerima sepeser pun dari emisi yang dihasilkan di tanah air.

Sektor baja dan aluminium, yang selama ini menjadi primadona hilirisasi, berada di garis depan ancaman ini. Tanpa offset lokal, produk baja Indonesia berpotensi kehilangan daya saing harga melawan produk serupa dari negara yang telah memiliki sistem perdagangan karbon mapan. Pun demikian dengan komoditas semen yang memiliki jejak karbon tinggi dalam proses produksinya.

Ironisnya, kesiapan regulasi di dalam negeri terkesan lambat. Penerapan pajak karbon yang diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah berulang kali mengalami penundaan dengan alasan menanti momentum ekonomi yang tepat. Padahal, absennya pungutan domestik ini justru menjadi celah bagi Uni Eropa untuk memungut “pajak” atas emisi barang impor Indonesia.

Waktu bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk berbenah kini tersisa kurang dari dua tahun. Jika harmonisasi standar penghitungan emisi dan penerapan pajak karbon domestik tidak segera dikebut, niat meraup devisa dari ekspor justru bisa berujung pada subsidi tak langsung industri nasional ke kas Uni Eropa.

Related posts

KEHATI ESG Award 2025: Saringan Ketat Emiten Hijau dan Penghormatan bagi Sang Pelopor

Nugroho

Perubahan Kebijakan CDP 2025–2026 dan Dampaknya terhadap Perusahaan Terdaftar di Bursa

Nea

BEI dan S&P Dow Jones Luncurkan Tiga Indeks Baru untuk Pasar Modal Berkelanjutan

Nea

Leave a Comment