Image default
Press Release

Buah Asli Indonesia: Warisan Tropis yang Menggerakkan Transformasi ESG

Ketika kita memikirkan kekayaan alam Indonesia, pandangan mata terpaut pada keindahan pantai dan keragaman flora. Namun, ada permata tersembunyi yang sering terlewatkan: buah-buahan asli yang tumbuh di kepulauan nusantara. Bukan sekadar kelezatan yang menggugah lidah, melainkan cerita transformasi lingkungan, pemberdayaan sosial, dan tata kelola bisnis yang turut menyelamatkan planet ini.

Dari Keragaman Alam Menuju Kepastian Pangan

Indonesia, negara yang terbentang 5.120 kilometer dari barat ke timur, memiliki keunikan geografis yang luar biasa. Posisi di khatulistiwa menghasilkan iklim tropis yang memungkinkan panen buah sepanjang tahun. Riset menunjukkan bahwa sekitar 30.000 jenis tanaman dapat tumbuh di Indonesia, namun hanya sekitar 4.000 yang dibudidayakan. Ini bukan kegagalan, melainkan peluang emas.

Buah-buahan seperti manggis, mangga, durian, salak, dan nangka bukan sekadar komoditas pertanian. Mereka adalah arsitektur ekosistem yang hidup. Ketika petani memelihara pohon-pohon ini, mereka tidak hanya menanam sumber penghasilan—mereka menanam karbon, stabilitas air, dan nutrisi bagi ribuan spesies.

ESG Bukan Jargon, Tapi Aksi di Lapangan

Perspektif Environmental, Social, and Governance (ESG) bukan konsep baru di dunia perkebunan buah Indonesia. Di Bali, sistem agroforestri salak yang telah diakui oleh FAO sebagai Globally Important Agricultural Heritage Systems (GIAHS) menjadi bukti nyata. Sistem ini menggabungkan budidaya salak dengan pohon-pohon lain seperti mangga, pisang, dan tanaman obat, menciptakan lanskap pertanian yang kaya akan keanekaragaman.

Filosofi Bali yang tertanam dalam “Tri Hita Karana” (keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas) menjadi fondasi praktik pertanian berkelanjutan ini. Hasilnya? Erosi tanah berkurang, air tersimpan lebih baik, karbon terserap optimal, dan kehidupan petani membaik—semua terjadi bersamaan.

Di tempat lain, Kalimantan Selatan mengkonservasi mangga Borneo melalui Community Biodiversity Management (CBM). Inisiatif yang melibatkan petani dalam pelestarian plasma nutfah (sumber daya genetika lokal), sementara secara bersamaan menciptakan lapangan kerja dan mengembangkan nilai tambah produk. Ini adalah ESG yang hidup: lingkungan terjaga, komunitas diberdayakan, pengelolaan dilakukan dengan transparansi.

Ketika Inovasi Bertemu Tradisi

Transformasi ESG di sektor buah Indonesia tidak hanya berpijak pada warisan budaya. Inovasi modern turut memperkuat komitmen ini. Teknologi tabulampot (tanaman buah dalam pot) memungkinkan petani kecil untuk memproduksi buah berkualitas premium tanpa memerlukan lahan luas. Sistem ini mengurangi penggunaan air, meminimalkan pestisida, dan menciptakan pekerjaan untuk petani generasi muda.

Korporasi juga turut berkontribusi. PT Elnusa Fabrikasi Konstruksi (EFK) telah membuktikan komitmen korporat melalui program perkebunan buah yang menggabungkan penanaman pohon buah produktif dengan pemberdayaan UMKM lokal. Tidak hanya lingkungan yang hijau; masyarakat juga mendapatkan akses pasar, pelatihan keuangan, dan jaminan penerusan generasi. Ini adalah tiga pilar ESG yang serius.

Ancaman Nyata, Solusi Mendesak

Namun, di balik optimisme ini tersimpan ancaman serius. Deforestasi dan ekspansi pertanian industrial telah menyebabkan fragmentasi habitat yang luas. Spesies buah liar yang belum dimanfaatkan secara optimal mengalami penurunan populasi drastis. Survei terbaru mencatat bahwa dari ratusan spesies buah liar di Sumatra, lebih dari separuhnya masuk kategori “Data Deficient”—kita bahkan tidak tahu status kepunahan mereka.

Tradisi pengetahuan lokal, yang menjadi jantung keberlanjutan, semakin hilang seiring migrasi pemuda dari desa ke kota. Jika momentum ini tidak ditangkap sekarang, warisan buah asli Indonesia akan tinggal cerita bagi cucu-cucu kita.

Momentum Transformasi yang Tidak Boleh Dilewatkan

Indonesia memiliki tiga pilar strategis untuk mengoptimalkan sektor buah asli berdasarkan pendekatan ESG:

Pertama, kebun rumah tangga yang produktif untuk ketahanan pangan. Kedua, perkebunan komersial yang menerapkan Good Agricultural Practices (GAP) dan teknologi untuk efisiensi. Ketiga, kebun plasma nutfah yang melestarikan spesies lokal langka dan menjadi sumber inovasi genetik masa depan.

Setiap pilar ini saling mengisi. Petani kecil memiliki jaring aman pangan, pelaku usaha mendapat akses pasar, investor mendapatkan return yang sehat, dan lingkungan mendapat waktu untuk pulih. Kolaborasi lintas pemangku kepentingan—dari korporasi, pemerintah, komunitas, hingga investor—menjadi kunci.

Penutup

Buah asli Indonesia bukan sekadar makanan. Mereka adalah medium transformasi ekonomi yang adil, lingkungan yang sehat, dan tata kelola yang inklusif. Setiap gigitan mangga harum dari Jawa Timur, setiap salak manis dari Bali, setiap durian menggugah dari Sumatra Utara—mereka adalah cerita ESG yang nyata.

Pertanyaannya bukan lagi apakah Indonesia siap untuk transformasi ESG di sektor buah. Pertanyaannya adalah: apakah kita cukup cepat untuk mengejar momentum sebelum peluang berlalu?


One Key Message

Indonesia’s native fruits represent a transformative opportunity to align agricultural prosperity with environmental stewardship and social equity. By scaling agroforestry systems, conserving genetic biodiversity, and empowering farming communities through market access and skills development, the nation can position itself as a global leader in ESG-driven agriculture—creating sustainable livelihoods while restoring tropical ecosystems for generations to come.

Related posts

Masjid Cahaya Zakat & ZCorner: Harapan Baru untuk Nelayan Indramayu yang Berjuang Lawan Banjir Rob

Nea

SCG Memimpin Revolusi Pengelolaan Sampah: Dari Limbah Menjadi Peluang Emas

Nea

Leave a Comment