Image default
Social

Candi Borobudur: Mengubah Warisan Dunia Menjadi Destinasi Berkelanjutan

Ketika matahari terbit menyinari Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, bangunan berusia lebih dari seribu tahun itu berdiri kokoh sebagai bukti peradaban manusia. Namun di balik keindahan arsitektur Buddhist terbesar di dunia, sebuah transformasi penting sedang berlangsung. Pengelola situs warisan UNESCO ini tidak lagi hanya berfokus pada konservasi fisik, tetapi berani mengambil langkah revolusioner: menjadikan Borobudur sebagai model destinasi pariwisata berkelanjutan dengan pendekatan ESG (Environmental, Social, Governance).

PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko, yang dikenal sebagai InJourney Destination Management, telah menetapkan visi ambisius untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam setiap aspek operasionalnya. Komitmen ini bukan sekadar slogan pemasaran—ini adalah strategi bisnis yang matang untuk memastikan warisan budaya dunia tetap lestari sambil memberikan dampak positif kepada masyarakat lokal dan lingkungan.​

Lingkungan: Dari Konservasi Tradisional ke Inovasi Hijau

Pilar pertama ESG di Borobudur adalah komitmen lingkungan yang komprehensif. Upaya konservasi candi menggunakan teknologi dan metode terkini untuk mempertahankan keaslian struktur bangunan berusia 1.200 tahun ini. Namun, inovasi terbaru melampaui konservasi tradisional dengan fokus pada pengurangan jejak karbon dan pengelolaan limbah modern.​

Salah satu inisiatif paling inovatif adalah penempatan Reverse Vending Machine (RVM) di seluruh kawasan Borobudur. Teknologi ini memungkinkan pengunjung menukarkan botol plastik bekas dengan insentif digital secara langsung—sebuah terobosan yang mengubah paradigma pengelolaan sampah di destinasi wisata. Lebih dari sekadar mekanisme daur ulang, RVM menciptakan kesadaran kolektif tentang pentingnya tanggung jawab lingkungan individual.​

Program penghijauan juga menjadi fokus strategis. Pada Februari 2025, InJourney Destination Management melakukan penanaman 100 bibit pohon—termasuk pohon mangga, durian, dan alpukat—sebagai bagian dari inisiatif reforestasi. Pohon-pohon produktif ini diserahkan kepada masyarakat lokal dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), menciptakan simbiosis sempurna antara pemberdayaan ekonomi dan konservasi lingkungan.​

Selain itu, penggunaan energi terbarukan seperti panel surya di beberapa area menunjukkan komitmen terhadap pengurangan emisi karbon. Strategi ini sejalan dengan roadmap decarbonization pariwisata Indonesia yang menargetkan net-zero emissions pada 2060 atau lebih cepat, dengan Borobudur ditetapkan sebagai salah satu destinasi prioritas utama untuk transformasi ini.​

Sosial: Pemberdayaan Komunitas Lokal sebagai Inti Keberlanjutan

Dimensi sosial ESG di Borobudur menunjukkan pemahaman mendalam bahwa preservasi warisan budaya tidak terpisah dari kesejahteraan masyarakat lokal. Data menunjukkan dampak ekonomi yang signifikan: pendapatan rata-rata masyarakat lokal meningkat dari kurang dari 3,2 juta rupiah menjadi 600 ribu hingga 2,6 juta rupiah per bulan tergantung jenis pekerjaan.​

Pemberdayaan ini bukan sekadar penciptaan lapangan kerja. InJourney telah membangun ekosistem ekonomi inklusif yang melibatkan ribuan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Selama perayaan Waisak 2025 misalnya, lebih dari 2.000 UMKM terlibat langsung—dari pengrajin upanat sandal hingga vendor kuliner—menciptakan momentum ekonomi yang terasa konkret oleh komunitas.​

Program pengembangan keterampilan juga menjadi bagian integral. Pelatihan pembuatan upanat sandal, revitalisasi Kampung Seni Borobudur, dan dukungan kepada pengrajin lokal menunjukkan bahwa InJourney memahami bahwa pemberdayaan sosial memerlukan investasi dalam kapasitas manusia. Balkondes Agro Eduwisata Borobudur berdiri sebagai simbol dari pendekatan ini—pusat pembelajaran yang juga menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat.​

Transparansi dan akuntabilitas juga dijunjung tinggi melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang telah dilaksanakan sejak 1994, kini dipandu oleh regulasi Menteri Negara BUMN terbaru.​

Governance: Kepemimpinan yang Bertanggung Jawab

Pilar ketiga ESG—governance—tercermin dalam struktur kepemimpinan yang menekankan akuntabilitas dan visi jangka panjang. Pernyataan dari Febrina Intan, Presiden Direktur PT TWC, menjadi panduan: “Kita harus membangun ekosistem pariwisata yang sehat dan berkelanjutan, bukan mengutamakan kepentingan pribadi.”​

Struktur governance ini dibuktikan melalui implementasi roadmap ESG yang komprehensif. Pada April 2025, Focus Group Discussion ESG Roadmap diadakan untuk memastikan semua divisi bekerja terikat dalam komitmen keberlanjutan. Pernyataan dari Robby Saputra, Kepala Human Capital Development & Sustainability Group PT Aviasi Pariwisata Indonesia, menekankan bahwa “ESG bukan pilihan, tetapi keharusan”—filosofi yang menembus seluruh organisasi.​

Integrasi governance yang kuat juga terlihat dari kolaborasi strategis. Bermitra dengan lembaga internasional, pemerintah lokal, dan stakeholder komunitas, InJourney membangun sistem pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai pihak. Namun, tantangan tetap ada—penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi stakeholder dan dukungan kebijakan pemerintah masih memerlukan penguatan lebih lanjut.​

Tantangan dan Visi Masa Depan

Transformasi ESG di Borobudur bukan tanpa hambatan. Urbanisasi lahan pertanian di sekitar kompleks candi menjadi ancaman berkelanjutan. Data menunjukkan persentase lahan pertanian menurun dari 65,75% pada 2005 menjadi 60,14% pada 2015, terus menurun menjadi hanya 39,86% lahan non-pertanian yang meningkat. Diperlukan pendekatan terintegrasi yang menggabungkan konservasi alam dan budaya dengan melibatkan masyarakat lokal aktif dalam preservasi pertanian tradisional.​

Mitra bisnis yang tepat juga menjadi kunci. Kolaborasi dengan PT Meccaya dan Plasticpay dalam program RVM menunjukkan bagaimana kemitraan strategis mempercepat implementasi inovasi berkelanjutan.​

Kesimpulan: Model untuk Destinasi Warisan Dunia Lainnya

Transformasi Candi Borobudur dari sekadar monumen bersejarah menjadi destinasi pariwisata berkelanjutan menggambarkan kemungkinan nyata integrasi profit dan purpose. Dengan pendekatan ESG yang sistematis—konservasi lingkungan yang inovatif, pemberdayaan sosial yang inklusif, dan governance yang transparan—Borobudur membuktikan bahwa warisan budaya bukan hanya warisan untuk dihormati, tetapi aset yang dapat dikelola untuk menciptakan dampak positif bagi generasi mendatang.

Ketika pengunjung berikutnya datang ke Borobudur, mereka tidak hanya akan menyaksikan keajaiban arsitektur masa lalu, tetapi juga inovasi berkelanjutan masa depan—di mana konservasi budaya dan pembangunan berkelanjutan berjalan beriringan.​

One key Message: “Borobudur transforms UNESCO heritage into a model sustainable tourism destination, where preservation of cultural legacy drives environmental action, community economic empowerment, and transparent governance—proving that profit and purpose can coexist in heritage conservation.”

Related posts

Tari Tradisional Indonesia: Warisan Budaya yang Mendorong Keberlanjutan ESG

Nea

50% Warga RI Cemas Biaya Hidup: Sinyal Bahaya Bagi Korporasi yang Abaikan Inklusi Sosial

Nugroho

Mewujudkan Hilirisasi Berkelanjutan: Menjaga Keseimbangan Antara Target Ekonomi dan Aspek Sosial

Nugroho

Leave a Comment