Image default
Enviroment

Menyelamatkan Bumi, Namun Lupa Menyelamatkan Diri: Refleksi ESG dan Masa Depan Manusia

Jakarta, ESG IDN – Bayangkan sebuah kota terapung, melayang di atas laut yang dulu penuh gejolak dan menelan garis pantai. Gedung-gedungnya berkilau dengan panel surya, robot-robot mungil membersihkan udara dari plastik, sementara para penghuni menikmati senja tanpa sepenuhnya memahami bagaimana kota itu bisa tercipta—atau siapa yang telah berjasa menyelamatkan dunia.

Mari kita putar waktu ke masa kini. Di ruang-ruang rapat, diskusi soal ESG—Environmental, Social, dan Governance—menjadi topik panas. Perusahaan berlomba menurunkan jejak karbon, memperbaiki keberagaman, serta memperketat tata kelola. Para investor tak lagi sekadar mengejar keuntungan; mereka ingin tahu seberapa hijau, adil, dan transparan sebuah bisnis. Konsumen pun pelan-pelan berubah menjadi revolusioner: memilih brand yang peduli, mengabaikan yang tak peduli.

Jika kita mundur lagi, terdengar kisah yang sering tersembunyi: sungai yang mengering, hutan yang ditebang, komunitas yang hilang ditelan tambang dan cerobong asap. ESG lahir bukan dari niat murni, tetapi dari kerusakan dan retakan dunia yang lama diabaikan. Hari ini disebut “kesadaran”, meski sejujurnya—ia bermula dari ketakutan.

Kini coba bayangkan masa depan di mana seluruh kotak ESG telah tercentang: emisi nol, tanpa diskriminasi kerja, etika korporat tanpa cela. Tampak sempurna, bukan? Tapi, pertanyaannya—apakah di tengah kesempurnaan laporan dan sertifikasi itu, kepedulian masih tulus? Apakah bumi tetap dijaga karena cinta, bukan sekadar kewajiban? Apakah kebaikan masih terasa murni ketika semuanya tercatat dalam laporan triwulan?

Kita bergerak dari masa lalu, kini, hingga masa depan, seperti membaca bab dalam buku kehidupan. ESG bukanlah garis akhir atau trofi kemenangan, melainkan cerita berantakan yang masih ditulis oleh para pejuang—konsumen, CEO, pemimpi, pengkritik—termasuk diri sendiri.

Kota terapung itu mungkin belum tercipta. Namun, sebenarnya kota itu sedang perlahan dibangun, setiap kali ada yang memilih produk berkelanjutan, mendukung pemberi kerja yang adil, menanam pohon, atau sekadar berani bertanya.

Mungkin sisi paling manusiawi dari perjalanan ini adalah menyadari bahwa pekerjaan baik tak akan pernah “tuntas.” Dan justru di sanalah harapan tumbuh, di tengah ketidaksempurnaan dan proses yang tak pernah selesai.

One key message : True sustainability goes beyond ticking ESG boxes—it requires ongoing genuine care and action for the planet and ourselves, recognizing that the journey to protect both is continuous, imperfect, and full of hope.

Related posts

Krisis Pengelolaan Lingkungan Indonesia: Respons ESG terhadap Banjir Sumatra dan Jalan Menuju Kolaborasi Internasional untuk Pencegahan Bencana

Nea

Indonesia: Harta Karun Keanekaragaman Hayati Dunia dan Peluang ESG Uniknya

Nea

Mengungkap Aksi Iklim: Climate TRACE Buka Era Transparansi Emisi Global

Nea