Image default
Governance

Gugatan ‘Kuota Internet Hangus’ di MK: Alarm Bahaya Bagi Rapor ESG Emiten Telko

Jakarta, ESG IDN – Langkah berani dua warga negara yang menggugat aturan “Kuota Internet Hangus” ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 26 Desember 2025 kemarin, sukses membuat geger industri telekomunikasi. Namun, di balik drama hukum ini, terdapat sinyal peringatan keras bagi para investor dan manajemen emiten telekomunikasi raksasa: Rapor ESG (Environmental, Social, and Governance) kalian sedang dipertaruhkan.

Gugatan uji materiil terhadap UU Cipta Kerja ini sejatinya membuka “kotak pandora” mengenai bagaimana raksasa teknologi memperlakukan konsumennya. Pasutri Didi Supandi dan Wahyu Triana Sari, yang sehari-hari berjuang sebagai pengemudi ojol dan pedagang kuliner daring, secara tidak langsung menelanjangi pilar Social dalam prinsip ESG yang selama ini digadang-gadang oleh operator.

Dari kacamata aspek sosial, praktik menghanguskan sisa kuota data yang sudah dibayar lunas ini dinilai mencederai semangat inklusi keuangan. Bagi pekerja sektor informal seperti Didi dan Wahyu, kuota internet adalah alat produksi utama, sama pentingnya dengan bensin bagi kendaraan. Ketika operator menghapus sisa kuota tersebut hanya karena masa aktif paket berakhir, perusahaan dianggap melakukan praktik bisnis yang tidak sensitif (socially insensitive) terhadap kondisi ekonomi “wong cilik”. Klaim operator yang kerap menyuarakan pemberdayaan ekonomi digital pun terasa kontradiktif jika model bisnisnya justru membebani pelaku utama ekonomi digital itu sendiri dengan biaya ganda.

Tak hanya soal isu sosial, gugatan ini juga menyoroti aspek Governance atau tata kelola perusahaan yang baik. Poin krusial dalam gugatan yang menyebutkan bahwa “kuota adalah aset digital yang dibeli lunas” menuntut transparansi etika bisnis yang lebih tinggi. Jika kuota adalah hak milik, maka mengambilnya kembali tanpa kompensasi (refund) bisa dianggap sebagai predatory practice atau upaya meraup laba dengan memanfaatkan celah regulasi yang abu-abu. Dalam standar investasi global masa kini, berlindung di balik aturan yang lemah untuk merugikan konsumen adalah bentuk tata kelola yang buruk dan berisiko tinggi.

Bagi investor pasar modal, kasus ini bukan sekadar riak kecil. Jika MK mengabulkan tuntutan pemohon—seperti kewajiban akumulasi sisa kuota (rollover) atau pengembalian dana (refund)—emiten telekomunikasi harus bersiap menghadapi koreksi pendapatan jangka pendek karena hilangnya pendapatan dari kuota yang hangus (breakage revenue). Namun, lebih jauh dari itu, kasus ini menjadi ujian pembuktian komitmen keberlanjutan perusahaan: apakah jargon ESG hanya sekadar kosmetik laporan tahunan, atau benar-benar diimplementasikan dalam keadilan berbisnis terhadap konsumen setia.

Related posts

BEI dan S&P Dow Jones Luncurkan Tiga Indeks Baru untuk Pasar Modal Berkelanjutan

Nea

Membuka Kode ESG: Mengapa Investor Visioner Menulis Ulang Aturan Modal

Nea

Schneider Electric Kembali Rajai Daftar Perusahaan Dunia Paling Berkelanjutan di Dunia Tahun 2025

Nugroho