Jakarta, ESGIDN.com – Separuh dari penduduk Indonesia kini hidup dalam bayang-bayang kecemasan. Survei terbaru dari PwC bertajuk “Voice of the Consumer 2025” menyingkap fakta yang mengejutkan: 50 persen konsumen di negeri ini mengaku sangat khawatir terhadap ketidakstabilan ekonomi dan lonjakan biaya hidup. Angka ini bukan sekadar statistik, karena ia melampaui rata-rata kecemasan global yang berada di level 44 persen. Ketika satu dari dua orang yang kita temui merasa dompet dan masa depan mereka tidak aman, ini adalah sinyal bahaya yang nyaring bagi dunia korporasi.
Kecemasan publik yang meluas ini diperparah oleh realitas ketimpangan yang masih menganga, terutama di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 menunjukkan bahwa meski kemiskinan ekstrem telah ditekan hingga 0,85 persen, jurang antara si kaya dan si miskin di perkotaan masih sangat tajam. Rasio Gini di kota tercatat sebesar 0,395, jauh lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Di tengah himpitan biaya hidup yang kian mencekik, ketimpangan ini bukan lagi sekadar isu statistik, melainkan bahan bakar bagi potensi ketegangan sosial yang serius.
Bagi perusahaan, mengabaikan inklusi sosial di tengah situasi psikologis masyarakat yang rapuh seperti ini adalah pertaruhan besar. Standar pelaporan keberlanjutan global seperti IFRS S1 dan S2 yang kini diadopsi Indonesia menuntut korporasi untuk tidak lagi menutup mata terhadap dampak sosial bisnis mereka. Bukan zamannya lagi perusahaan merasa cukup dengan program bagi-bagi sembako setahun sekali. Pertanyaan yang harus dijawab kini jauh lebih mendasar: bagaimana strategi bisnis perusahaan dapat meredam—atau justru memperparah—kecemasan sosial di sekitarnya?
Risiko mengabaikan inklusi sosial sangat nyata. Ketika masyarakat merasa tertinggal dan terhimpit secara ekonomi sementara perusahaan di dekat mereka tumbuh pesat, rasa ketidakadilan itu bisa memicu resistensi. Gangguan rantai pasok, demonstrasi menuntut kenaikan upah yang mendadak, hingga sengketa lahan sering kali berakar dari ketimpangan ekonomi yang tidak terkelola. Bagi investor, perusahaan yang beroperasi di tengah komunitas yang cemas dan merasa terpinggirkan membawa risiko operasional yang tinggi. Stabilitas bisnis bisa goyah sewaktu-waktu hanya karena letupan kekecewaan sosial.
Namun, di balik awan mendung kecemasan ini, terdapat peluang bagi korporasi yang jeli. Tingginya kekhawatiran masyarakat akan biaya hidup sebenarnya adalah sinyal adanya pasar yang membutuhkan solusi yang lebih terjangkau dan inklusif. Perusahaan yang mampu hadir dengan model bisnis yang merangkul—bukan memisahkan—justru akan menemukan loyalitas baru.
Kita bisa melihat contoh nyata di tahun 2025 ini, di mana sektor perbankan gencar menyalurkan kredit mikro bukan sekadar untuk memenuhi kuota regulasi, tapi sebagai strategi menjangkau mereka yang selama ini unbankable. Atau peritel modern yang mulai menggandeng warung-warung kecil dan UMKM sebagai mitra rantai pasok, memberikan mereka akses harga yang lebih kompetitif sekaligus efisiensi distribusi bagi perusahaan. Ini adalah bentuk nyata dari inklusi sosial yang menguntungkan kedua belah pihak: masyarakat terbantu menekan biaya hidup, dan perusahaan mendapatkan pasar yang lebih luas dan stabil.
Tekanan regulasi juga semakin mengarah ke sana. Pedoman manajemen risiko ESG dari European Banking Authority (EBA) yang efektif mulai 2026, serta dorongan OJK di dalam negeri, semakin memperjelas bahwa risiko sosial adalah risiko finansial. Akses terhadap pendanaan murah di masa depan akan sangat bergantung pada seberapa baik perusahaan mampu menunjukkan komitmen mereka terhadap mitigasi risiko sosial, termasuk ketimpangan.
Lantas, apa yang harus dilakukan korporasi menghadapi 50 persen warga yang cemas ini? Langkah pertama adalah empati berbasis data. Gunakan data BPS per wilayah untuk memetakan tingkat ketimpangan di area operasional Anda. Jika Anda beroperasi di wilayah dengan ketimpangan tinggi dan daya beli tertekan, waspadalah.
Kedua, integrasikan potensi gejolak sosial akibat tekanan biaya hidup ini ke dalam manajemen risiko perusahaan. Jangan anggap enteng keluhan warga atau buruh soal harga kebutuhan pokok. Ketiga, dan yang paling krusial, ubah pendekatan dari sekadar donasi menjadi pemberdayaan ekonomi atau Creating Shared Value (CSV). Program yang membantu komunitas sekitar meningkatkan pendapatan atau menekan pengeluaran mereka akan jauh lebih bernilai daripada sumbangan sesaat.
Bagi para pemegang saham dan investor, angka 50 persen ini harus menjadi alarm. Perusahaan yang gagal merespons kecemasan publik dengan strategi inklusi sosial yang konkret sedang mempertaruhkan keberlanjutan bisnisnya. Di tengah masyarakat yang cemas, bisnis yang hanya peduli pada keuntungan sendiri tanpa mempedulikan sekelilingnya, sesungguhnya sedang berjalan di atas es yang sangat tipis.

