Jakarta, ESG IDN – Pada akhir November 2025, Indonesia menghadapi salah satu bencana hidrometeorologi paling dahsyat dalam hampir satu dekade terakhir ketika banjir dan tanah longsor dahsyat menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Bencana ini dipicu oleh Siklon Tropis Senyar yang berpadu dengan curah hujan ekstrem musiman, menelan 961 nyawa dan mengungsi lebih dari 1,2 juta orang hingga awal Desember 2025.
Meskipun pemerintah Indonesia menunjukkan respons cepat yang kokoh berdasarkan prinsip tata kelola yang solid, bencana ini juga mengungkap kerentanan lingkungan kritis yang terkait dengan penggundulan hutan dan degradasi ekosistem. Artikel ini mengkaji respons kerangka kerja Environmental, Social, and Governance (ESG) Indonesia dan mengidentifikasi peluang strategis untuk kemitraan internasional guna memperkuat pencegahan bencana dan ketahanan di masa depan.
Banjir Sumatra November 2025: Cakupan dan Dampak
Gambaran Umum Bencana
Banjir Sumatra November 2025 merupakan perpaduan faktor alam dan faktor yang disebabkan manusia. Antara 25 sampai 30 November 2025, curah hujan intensif yang mencapai 300 milimeter di beberapa wilayah bergabung dengan terbentuknya Siklon Tropis Senyar menciptakan skenario badai sempurna. Peristiwa meteorologi ini terjadi saat konvergensi pola musiman dan kondisi atmosfer yang meningkatkan aktivitas konvektif di seluruh Sumatra utara dan tengah.
Dampak kemanusiaan dari bencana ini sangat besar. Hingga 7 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan 916 kematian terkonfirmasi, dengan 472 orang tambahan masih hilang. Sebaran geografis dampak menunjukkan tingkat keparahan bencana: Sumatera Utara mencatat 329 kematian dan 160 orang hilang; Sumatera Barat melaporkan 226 kematian dan 213 orang hilang; Aceh melihat korban tambahan terkonsentrasi di distrik seperti Pidie Jaya. Lebih jauh lagi, sekitar 1,2 juta orang mengungsi, dengan 3,5 juta individu terdampak di seluruh tiga provinsi.
Kerusakan infrastruktur sama mencengangkannya. Di Sumatera Utara saja, 3.500 rumah mengalami kerusakan berat, 4.100 kerusakan sedang, dan 20.500 kerusakan ringan. Selain itu, 271 jembatan hancur dan 282 fasilitas pendidikan rusak. Sumatera Barat mencatat 41.800 pengungsi, 55 jembatan rusak, dan 86 fasilitas sekolah terganggu. Kehancuran meluas ke utilitas kritis: infrastruktur telekomunikasi menderita kerusakan luas, dengan 2.463 menara telekomunikasi terganggu hingga 28 November 2025.
Analisis Akar Masalah: Kerentanan Lingkungan
Meskipun peristiwa cuaca ekstrem berfungsi sebagai pemicu langsung, ahli lingkungan dan peneliti telah mengidentifikasi penyebab sistemik yang lebih dalam berakar pada degradasi ekologis. Para ilmuwan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) telah mengkarakterisasi situasi ini sebagai konsekuensi dari apa yang mereka sebut “dosa ekologis”—akumulasi kerusakan lingkungan melalui penggundulan hutan dan degradasi daerah aliran sungai.
Kerentanan kritis terletak pada kondisi daerah aliran sungai. Di wilayah terdampak, tutupan hutan alami di area daerah aliran sungai telah jatuh di bawah 30 persen. Degradasi ini secara sistemik telah melemahkan kapasitas lanskap untuk mengelola aliran air, mempertahankan tanah, dan mencegah aliran permukaan cepat. Kombinasi dari hutan dataran tinggi yang terdegradasi dengan kapasitas infiltrasi air berkurang, stabilitas tanah yang dikompromikan yang menyebabkan kerentanan tanah longsor, hilangnya penyangga alami yang secara historis menyebarkan air banjir, dan infrastruktur drainase yang buruk di area perkotaan hilir menciptakan skenario di mana setiap curah hujan signifikan akan menghasilkan dampak yang tidak proporsional dibandingkan dengan garis dasar historis ketika tutupan hutan lebih utuh.
Kerangka Kerja Respons ESG Indonesia
Koordinasi Pemerintah dan Keunggulan Tata Kelola
Respons Indonesia terhadap banjir Sumatra menunjukkan kemampuan tata kelola yang substansial di berbagai tingkatan. Pemerintah memobilisasi respons kedaruratan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dikoordinasikan melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang beroperasi dalam kerangka kerja hukum dan institusional yang terstruktur dengan baik.
Operasi Kedaruratan dan Koordinasi
Presiden Prabowo Subianto mendeklarasikan status kedaruratan yang ditingkatkan dan menyetujui peningkatan pendanaan kedaruratan pada 3 Desember 2025. Pemerintah memobilisasi lima puluh unit transportasi udara (40 helikopter dari BNPB dilengkapi dengan aset Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Nasional) yang mengirimkan 25 hingga 35 ton bantuan kemanusiaan setiap hari ke komunitas terisolasi. Upaya logistik ini menjangkau kantong pengungsi yang tidak dapat diakses melalui jalan, memastikan persediaan yang menyelamatkan nyawa mencapai populasi paling rentan.
Koordinasi di antara sektor pemerintah mencapai hasil terukur dalam hitungan hari. Untuk pemulihan telekomunikasi, Kementerian Komunikasi dan Informasi melaporkan bahwa 707 dari 2.463 menara telekomunikasi yang rusak dipulihkan ke fungsi dalam 24 jam. Pada 1 Desember, layanan telekomunikasi di Sumatera Barat mencapai restorasi 95 persen, sementara Sumatera Utara mencapai kapasitas 90 persen. Bahkan di Aceh, di mana kendala listrik menghambat kemajuan, koordinasi dengan perusahaan utilitas negara PLN mencapai fungsionalitas menara 60 persen.
Untuk restorasi infrastruktur, Kementerian Pekerjaan Umum mengerahkan peralatan dan personel tambahan dalam kolaborasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), memprioritaskan rute Sumatra Utara-ke-Barat yang kritis untuk memungkinkan distribusi bantuan. Peralatan berat dimobilisasi dari provinsi yang tidak terdampak untuk mempercepat pembersihan jalan dan perbaikan jembatan.
Untuk respons sektor pendidikan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah memberikan bantuan segera melalui upaya pembersihan sekolah dan mendistribusikan buku serta peralatan pembelajaran, dengan persiapan sedang berlangsung untuk penggantian papan interaktif yang rusak dan infrastruktur.
Inisiatif Perencanaan Lingkungan dan Spasial
Dengan respon cepat, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk perbaikan tata kelola lingkungan sistemik yang mengatasi penyebab akar yang diungkap oleh bencana.
Perencanaan Spasial dan Restorasi Ekosistem
Kementerian Agraria dan Tata Ruang Wilayah mengumumkan rencana untuk evaluasi perencanaan spasial di ketiga provinsi yang terdampak. Kerangka kerja evaluasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa pola penggunaan lahan selaras dengan kapasitas daya dukung ekologis dan karakteristik lingkungan, langkah kritis menuju pencegahan kegagalan berjenjang serupa di masa depan. Komitmen ini mencerminkan integrasi pengurangan risiko bencana dengan perencanaan penggunaan lahan—prinsip sudut ESG.
Kementerian Lingkungan Hidup memulai studi pelengkap yang difokuskan pada restorasi ekosistem dan penguatan daya dukung lingkungan. Upaya ini akan menginformasikan strategi untuk rehabilitasi lahan basah, restorasi buffer riparian, dan regenerasi ekosistem hutan di area daerah aliran sungai kritis.
Alat Respons Bencana Inovatif
Secara khusus, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mengerahkan empat gajah (Abu, Mido, Ajis, dan Noni) untuk membantu pembersihan puing di area yang tidak dapat diakses oleh mesin berat, termasuk sub-distrik Meureudu dan Meurah Dua. Pendekatan kreatif ini dikombinasikan dengan upaya mekanik skala besar menunjukkan kapasitas adaptif Indonesia dalam mengatasi tantangan medan kompleks dan tantangan akses.
Inklusi Sosial dan Perlindungan Populasi Rentan
Kerangka kerja respons Indonesia menunjukkan perhatian eksplisit kepada populasi rentan. Organisasi termasuk Plan Indonesia menekankan bahwa respons bencana harus memprioritaskan hak dan perlindungan anak-anak, perempuan, penyandang disabilitas, dan komunitas terpinggirkan yang biasanya menghadapi kerentanan berlipat ganda selama krisis.
Plan Indonesia mengirimkan 23 ton item non-makanan termasuk produk kebersihan khusus (terutama item kebersihan menstruasi), kit penampungan, selimut, dan bahan tidur. Penilaian Kebutuhan Cepat (RNA) berfokus pada tiga dimensi kritis: Air, Sanitasi dan Kebersihan (WASH); Perlindungan; dan Pendidikan, dengan perhatian eksplisit pada kebutuhan spesifik gender dan usia.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi menetapkan garis waktu respons kedaruratan satu bulan hingga 31 Desember 2025, memprioritaskan restorasi akses pendidikan dan perbaikan kerusakan infrastruktur. Melampaui fase kedaruratan ini, kementerian menyiapkan rencana pemulihan jangka menengah dimulai Januari 2026, menggabungkan rehabilitasi, program ekonomi berkelanjutan, rekonstruksi sanitasi, dan pendidikan mitigasi bencana untuk memperkuat ketahanan jangka panjang.
Integrasi Kerangka Kerja ESG dan Keterbatasannya
Pilar Lingkungan: Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Ekosistem
Indonesia secara progresif telah mengintegrasikan pendekatan berbasis ekosistem dalam kerangka kerja manajemen risiko bencana. Program “Building with Nature”—diimplementasikan melalui kolaborasi di antara LSM, institusi pemerintah, dan sektor swasta—menunjukkan komitmen terhadap infrastruktur hidraulik berkelanjutan yang secara bersamaan melestarikan ekosistem alami.
Namun demikian, banjir Sumatra mengungkapkan kesenjangan signifikan dalam skala implementasi. Meskipun Indonesia telah berkomitmen untuk reboisasi daerah aliran sungai yang terdegradasi dan telah menguraikan target restorasi hutan yang ambisius (melebihi 10 juta hektar ketika mengkonsolidasikan berbagai inisiatif), realitas implementasi tetap dibatasi oleh anggaran tahunan terbatas (secara historis rata-rata USD 100-125 juta untuk program pelestarian daerah aliran sungai), isu kepemilikan lahan kompleks dan masalah tata kelola di area restorasi prioritas, permintaan bersaing untuk penggunaan lahan antara konservasi dan pengembangan ekonomi, dan skala restorasi yang tidak cukup relatif terhadap tingkat penggundulan hutan yang terakumulasi.
Bencana ini menekankan bahwa upaya rehabilitasi hutan Indonesia, meskipun secara strategis sehat, memerlukan implementasi yang dipercepat dan sumber daya keuangan yang secara signifikan diperluas.
Pilar Sosial: Ketahanan Komunitas dan Tata Kelola Inklusif
Kerangka kerja tata kelola sosial Indonesia mencakup kebijakan progresif tentang manajemen bencana inklusif. ICLEI (Local Governments for Sustainability) Indonesia, dalam kolaborasi dengan BNPB, telah memajukan kerangka kerja untuk integrasi kesetaraan gender, teknologi, dan inklusi sosial (GETSI) dalam manajemen risiko bencana. Platform Distrik Inklusif (IDP)—dipandu di Bandung, Semarang, dan Yogyakarta—mewakili pendekatan inovatif untuk memungkinkan komunitas rentan berkolaborasi dalam menciptakan solusi kebijakan yang didorong data.
Kerangka kerja ini mencakup perlindungan sosial adaptif yang menghubungkan sistem kesejahteraan sosial dengan pengurangan risiko bencana untuk memastikan bahwa populasi rentan menerima bantuan yang ditargetkan, sistem peringatan dini berbasis komunitas yang mengintegrasikan pengetahuan komunitas dengan jaringan digital nasional dan sistem peringatan resmi, dan desain yang inklusif terhadap gender dan disabilitas yang memastikan mekanisme respons bencana mengatasi kebutuhan spesifik perempuan, penyandang disabilitas, individu lanjut usia, dan komunitas terpinggirkan.
Namun demikian, kesenjangan implementasi tetap ada, dengan keterbatasan sumber daya dan melek lingkungan yang tidak merata terus membatasi efektivitas di semua wilayah Indonesia.
Pilar Tata Kelola: Koordinasi Institusional dan Manajemen Keuangan
Struktur tata kelola Indonesia mencakup tanggung jawab institusional yang terdefinisi dengan baik dan mekanisme otorisasi keuangan. BNPB berfungsi sebagai badan koordinasi dengan wewenang untuk memobilisasi sumber daya di tingkat nasional, provinsi, dan lokal. Kapasitas pemerintah untuk dengan cepat menyetujui peningkatan pendanaan dan mengoordinasikan respons multi-kementerian menunjukkan infrastruktur tata kelola fungsional.
Rancangan Besar Penanggulangan Bencana (RIPB) 2020-2044 menetapkan kerangka kerja nasional yang menekankan sinergi lintas badan dan sistem informasi terintegrasi. Namun demikian, respons bencana juga mengungkapkan tantangan dalam kecukupan pembiayaan. Pemerintah awalnya memperkirakan biaya pemulihan pada 51,1 triliun rupiah (sekitar USD 3,1 miliar), dengan Aceh memerlukan 25,41 triliun, Sumatera Utara 12,7 triliun, dan Sumatera Barat 13 triliun rupiah masing-masing. Biaya ini melebihi alokasi anggaran tahunan khas untuk manajemen bencana dan restorasi infrastruktur.
Tantangan juga muncul dalam protokol bantuan internasional. Hingga awal Desember 2025, pemerintah Indonesia telah menolak penawaran bantuan internasional, dengan Menteri Luar Negeri Sugiono menyatakan bahwa Indonesia mempertahankan kapasitas untuk mengelola krisis secara mandiri. Meskipun ini mencerminkan kapasitas nasional dan kedaulatan, hal ini mungkin membatasi akses ke keahlian teknis khusus dan mekanisme pembiayaan yang tersedia melalui kemitraan internasional.
Peluang Internasional untuk Pencegahan Bencana Masa Depan
Mekanisme Pembiayaan dan Dukungan Adaptasi Iklim
Banjir Sumatra menyoroti realitas fundamental yang diartikulasikan dalam wacana pembiayaan iklim: negara-negara berkembang memerlukan substansial peningkatan pendanaan adaptasi iklim. Investasi adaptasi global saat ini di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang berjumlah sekitar USD 46 miliar per tahun—jauh tidak cukup relatif terhadap USD 400 miliar yang diperlukan tahunan pada 2035 untuk semua negara berkembang (tidak termasuk Cina) untuk mengatasi kebutuhan adaptasi dan ketahanan.
Pembiayaan Concessional dan Mekanisme Debt-for-Resilience
Lembaga pembangunan internasional dan donor bilateral dapat memperluas pembiayaan concessional—pinjaman yang disediakan dengan suku bunga di bawah pasar atau dengan periode pembayaran kembali yang diperpanjang—khusus ditargetkan menuju adaptasi dan ketahanan di Indonesia. Instrumen inovatif termasuk “pertukaran utang untuk ketahanan,” di mana kreditor menghapuskan atau mendiskontokan utang nasional sebagai pertukaran untuk tindakan pengurangan risiko iklim dan bencana tertentu. Pendekatan ini telah terbukti efektif: Barbados baru-baru ini membebaskan USD 125 juta dalam sumber daya anggaran melalui mekanisme semacam itu, mengarahkan ulang dana menuju peningkatan manajemen sumber daya air dan ketahanan pangan.
Ekspansi Multilateral Development Bank (MDB)
Komitmen Sevilla dari Konferensi Pembiayaan untuk Pembangunan 2024 mengajak Multilateral Development Banks untuk melipattigakan total pembiayaan mereka pada tahun 2035. Indonesia dapat memposisikan dirinya secara strategis untuk mengakses kapasitas pinjaman MDB yang diperluas, khususnya melalui integrasi penilaian risiko iklim dan ketahanan ke dalam World Bank Country Partnership Frameworks, pengaturan pembiayaan berbasis kebijakan di mana dukungan anggaran tergantung pada komitmen pengurangan risiko bencana dan perlindungan lingkungan spesifik, dan pendekatan platform negara yang mengoordinasikan beragam sumber pembiayaan di belakang pipa investasi nasional terpadu.
Kesuksesan baru-baru ini Indonesia dalam mengamankan USD 103,8 juta dari Green Climate Fund untuk REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) Results-Based Payments menunjukkan viabilitas mengakses pembiayaan iklim internasional. Preseden ini dapat diperluas melalui proposal yang diperluas menargetkan restorasi daerah aliran sungai, pengurangan risiko bencana berbasis ekosistem, dan pengembangan mata pencaharian yang cerdas iklim.
Restorasi Ekosistem dan Kolaborasi Penelitian Internasional
Kemitraan Restorasi Hutan dan Daerah Aliran Sungai
Kolaborasi internasional tentang restorasi hutan menawarkan jalan untuk mempercepat rehabilitasi ekosistem Indonesia. Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) mengoordinasikan proyek Sustainable Community-based Reforestation and Enterprises 2021-2030 (SCORE), yang mempersatukan institusi penelitian termasuk National Institute of Forest Science Korea Selatan (NIFoS), Badan Riset dan Inovasi Nasional Indonesia (BRIN), Universitas Sriwijaya, dan universitas regional lainnya.
Model kolaboratif ini menunjukkan bagaimana kemitraan internasional dapat meningkatkan kapasitas penelitian untuk agroforestri lokal yang sesuai dan cerdas iklim serta restorasi lanskap, memfasilitasi transfer pengetahuan dan keahlian teknis mengenai adaptasi berbasis ekosistem, mengidentifikasi situs demonstrasi sukses yang dapat diskalakan di seluruh daerah aliran sungai yang terdegradasi, dan melibatkan beragam pemangku kepentingan—pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil—dalam upaya restorasi yang dikoordinasikan.
Eksplorasi kemitraan tentang mekanisme pembiayaan yang ditingkatkan (termasuk skema insentif Bio-Rights untuk restorasi berbasis komunitas) menawarkan model yang dapat ditransfer ke inisiatif Indonesia yang lebih luas.
Transfer Teknologi dan Inovasi
Kerjasama internasional dapat mempercepat adopsi Indonesia terhadap sistem peringatan dini canggih, teknologi penginderaan jauh, kecerdasan buatan untuk pemetaan risiko, dan pemantauan berbasis drone. Negara-negara dengan keahlian dalam teknologi ini—termasuk negara-negara maju dan mitra regional yang lebih maju secara teknologi—dapat memfasilitasi transfer teknologi dan pembangunan kapasitas.
Inisiatif ADEXCO 2025 (Disaster Risk Reduction Exposition), membawa tema “Toward Resilient Nations: Integrated Disaster Risk Reduction for Southeast Asia,” memposisikan Indonesia sebagai pusat keunggulan regional sambil secara eksplisit mengajak kolaborasi lintas batas tentang kemajuan teknologi dalam perlindungan sipil.
Kerjasama Regional dan Koordinasi Asia Tenggara
Banjir November 2025 melampaui Indonesia, mempengaruhi Thailand, Sri Lanka, Malaysia, dan Vietnam melalui pola musiman terkait. Dimensi regional ini menciptakan peluang untuk mengembangkan sistem peringatan dini regional yang terkoordinasi yang mengembangkan jaringan pemantauan meteorologi dan hidrologis terpadu yang melampaui batas-batas nasional dan memungkinkan penilaian risiko kolektif, metodologi penilaian kerentanan bersama yang menstandarkan pendekatan untuk mengidentifikasi populasi dan lingkungan yang sensitif iklim di seluruh Asia Tenggara, manajemen daerah aliran sungai lintas batas yang mengembangkan kerangka kerja manajemen kooperatif untuk sungai yang melewati perbatasan nasional dan mengoordinasikan restorasi hulu dan manajemen banjir hilir, dan jaringan pertukaran pengetahuan yang menciptakan mekanisme formal untuk berbagi praktik adaptasi dan pengurangan risiko bencana yang berhasil di seluruh wilayah.
Mobilisasi International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) sebagai respons terhadap krisis banjir 2025—mencakup berbagai negara Asia Tenggara—menunjukkan kapasitas koordinasi yang ada yang dapat diperkuat melalui kerangka kerja preventif.
Mekanisme Sektor Swasta dan Asuransi
Kemitraan asuransi internasional dan mekanisme transfer risiko dapat memperkuat ketahanan keuangan Indonesia. Keterlibatan sektor asuransi dengan risiko bencana sangat penting untuk memastikan asuransi tanaman untuk petani pemilik kecil yang memastikan komunitas pertanian dapat pulih secara ekonomis dari kerusakan banjir, seperti yang ditunjukkan melalui kemitraan Fiji antara Fiji Development Bank dan perusahaan asuransi swasta, asuransi kontinuitas bisnis yang mendukung usaha kecil dan menengah di wilayah yang terkena banjir untuk memulihkan operasi, dan perencanaan kontingensi sektor publik yang bekerja dengan pemerintah untuk mengembangkan produk asuransi terindeks yang memberikan pembayaran otomatis ketika ambang batas bencana yang telah ditentukan sebelumnya terlampaui.
Namun demikian, seperti penelitian dari Zurich Climate Resilience Alliance menunjukkan, perlindungan banjir pesisir—yang mewakili biaya adaptasi global tertinggi tunggal—menawarkan pengembalian keuangan minimal bagi investor swasta. Dengan demikian, mekanisme pembiayaan publik internasional harus tetap menjadi inti dari strategi pencegahan banjir Indonesia, dengan keterlibatan sektor swasta terkonsentrasi pada bidang yang menawarkan pengembalian investasi yang layak.
Rekomendasi Strategis untuk Kemitraan Internasional
Inisiatif Jangka Pendek (2026-2027)
1. Mobilisasi Pembiayaan Iklim
Posisikan Indonesia untuk mengamankan alokasi Green Climate Fund yang diperluas menargetkan restorasi daerah aliran sungai dan pengurangan risiko bencana berbasis ekosistem di Sumatra. Kembangkan proposal proyek yang dapat difinansir untuk pembiayaan MDB infrastruktur hijau dan sistem pencegahan banjir. Jelajahi mekanisme utang-untuk-iklim untuk mengarahkan ulang kewajiban layanan utang saat ini menuju investasi ketahanan bencana.
2. Transfer Teknologi dan Pengetahuan
Tetapkan kemitraan bilateral dengan negara-negara yang memiliki kemampuan sistem peringatan dini canggih dan telemetri penginderaan jauh. Fasilitasi program pelatihan bagi staf teknis Indonesia dalam manajemen risiko terintegrasi dan adaptasi berbasis ekosistem. Dukung integrasi Indonesia tentang kecerdasan buatan dan analitik data besar ke dalam sistem manajemen bencana nasional.
3. Koordinasi Kemanusiaan dan Pemulihan
Meskipun menghormati posisi Indonesia saat ini untuk mengelola respons secara mandiri, posisikan kemitraan internasional sebagai pelengkap upaya nasional. Kembangkan protokol yang memungkinkan penempatan keahlian teknis internasional cepat jika Indonesia meminta bantuan dalam domain khusus (teknik, kesehatan masyarakat, restorasi lingkungan).
Inisiatif Jangka Menengah (2028-2030)
1. Skala Program Restorasi Ekosistem
Pembiayaan internasional dan dukungan teknis untuk memperluas restorasi daerah aliran sungai dan hutan dari situs pilot ke skala lanskap. Kemitraan penelitian menargetkan identifikasi spesies restorasi optimal dan metode untuk ekosistem Sumatra yang terdegradasi. Pembangunan kapasitas komunitas untuk pengembangan mata pencaharian berkelanjutan yang terintegrasi dengan restorasi ekosistem.
2. Kerangka Kerja Risiko Bencana Regional
Kembangkan protokol pengurangan risiko bencana Asia Tenggara dengan penekanan pada manajemen daerah aliran sungai lintas batas. Ciptakan standar sistem peringatan dini regional dan protokol berbagi data. Tetapkan pusat keunggulan regional untuk penelitian dan implementasi adaptasi berbasis ekosistem.
3. Perencanaan Ketahanan Nasional
Dukung penyelesaian Indonesia tentang evaluasi perencanaan spasial di provinsi yang terkena banjir dengan keahlian teknis internasional. Kembangkan kerangka kerja perencanaan perkotaan terintegrasi yang menggabungkan iklim dan risiko bencana ke dalam pembangunan kota. Tetapkan sistem pemantauan dan evaluasi untuk melacak kemajuan restorasi ekosistem dan hasil pengurangan risiko bencana.
Kesimpulan
Banjir Sumatra November 2025 mengungkapkan baik kapasitas institusional Indonesia untuk respons bencana maupun kerentanan fundamental yang diciptakan oleh degradasi ekosistem. Koordinasi cepat pemerintah di berbagai sektor dan penempatan mekanisme respons kedaruratan menunjukkan infrastruktur tata kelola fungsional. Namun demikian, skala bencana dan dampak dahsyat yang menghancurkan menekankan bahwa kemampuan respons jangka pendek, meskipun penting, tidak cukup tanpa mengatasi penyebab lingkungan akar.
Kerangka kerja ESG Indonesia—mencakup restorasi ekosistem lingkungan, inklusi sosial dalam manajemen bencana, dan koordinasi institusional tata kelola—menyediakan platform yang koheren untuk pencegahan bencana. Namun demikian, merealisasikan kerangka kerja ini pada skala yang diperlukan menuntut kemitraan internasional dan sumber daya keuangan di luar kapasitas alokasi Indonesia saat ini.
Peluang strategis untuk kerjasama internasional ada di berbagai dimensi: mobilisasi pembiayaan iklim, restorasi ekosistem melalui kemitraan penelitian, transfer teknologi untuk sistem peringatan dini, mekanisme koordinasi regional, dan kemitraan asuransi. Kemitraan ini tidak perlu mengkompromikan kedaulatan Indonesia atau otoritas manajemen; sebaliknya, mereka dapat berfungsi sebagai mekanisme pelengkap memperkuat kapasitas nasional.
Komunitas internasional telah menunjukkan kemauan untuk mendukung pemulihan Indonesia melalui penawaran bantuan kemanusiaan dan ekspresi solidaritas. Mengubah gestur ini menjadi kemitraan berkelanjutan untuk pencegahan bencana sistemik dan restorasi ekosistem akan mewakili pergeseran strategis dari respons krisis menuju pencegahan dan ketahanan. Bagi Indonesia—bangsa yang menghadapi berbagai paparan bahaya termasuk aktivitas seismik, banjir, letusan gunung berapi, dan ekstrem yang didorong iklim—kemitraan semacam itu bukan mewakili ketergantungan eksternal tetapi optimisasi rasional sumber daya global menuju tujuan keamanan iklim bersama.
Usaha pencegahan menyempit ketika dampak iklim meningkat secara global. Pengalaman Indonesia dalam banjir November 2025 menawarkan pelajaran berharga bagi negara-negara rentan lainnya sambil menunjukkan keharusan mendesak untuk mengintegrasikan penatalayanan lingkungan, perlindungan sosial, dan keunggulan tata kelola dalam kerangka kerja pencegahan bencana komprehensif. Kemitraan internasional, berakar dalam kepentingan bersama dalam stabilitas iklim dan keamanan manusia, dapat mempercepat transisi yang diperlukan untuk mengubah Indonesia—dan secara perpanjangan, Asia Tenggara—menjadi model pembangunan yang tahan terhadap bencana dan berkelanjutan secara lingkungan.
Sumber Referensi dan Data
Semua data kuantitatif yang dirujuk dalam artikel ini berasal dari laporan pemerintah resmi yang dikeluarkan melalui:
- Laporan situasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 28 November – 8 Desember 2025
- Laporan restorasi infrastruktur Kementerian Komunikasi dan Informatika, 1 Desember 2025
- Penilaian dampak institusional Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, 8 Desember 2025
- Laporan kemajuan Kementerian Pekerjaan Umum tentang restorasi infrastruktur, 4 Desember 2025
- Dokumentasi alokasi anggaran Kementerian Keuangan, 3 Desember 2025
- Penilaian situasi regional International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, 1 Desember 2025
Analisis berbasis penelitian dan akademis tentang penyebab bencana berasal dari pernyataan yang dipublikasikan oleh ilmuwan bencana Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung hingga 30 November 2025.
Data pembiayaan iklim dan mekanisme adaptasi internasional dirujuk dari analisis World Resources Institute (WRI), studi kasus adaptasi iklim European Investment Bank, dan ulasan pembiayaan iklim World Economic Forum yang diterbitkan pada tahun 2025.
Kerangka kerja restorasi hutan dan pengurangan risiko bencana berbasis ekosistem merujuk pada Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030 Indonesia (Februari 2022), inisiatif penelitian kolaboratif CIFOR-ICRAF, dan dokumentasi proyek Green Climate Fund.

